G30S 1965 : Pengakuan Penyergap Ketua PKI Aidit
Ia pensiun dini dari RPKAD untuk melanjutkan kuliah di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pensiunan RPKAD ini sebut saja
Buwono.
Buwono memberikan testimoni di rumahnya di Jakarta pada Kamis 17 September
lalu. Sebagai anggota RPKAD, Buwono bangga mendapatkan tugas untuk memburu DN
Aidit. Buat dia, Aidit dan PKI merupakan musuh negara dan rakyat Indonesia.
Buwono menggambarkan, situasi politik Indonesia pada tahun 1965
adalah berada di antara pilihan pahit, membunuh atau dibunuh. Sebagai orang
yang berlatar belakang keluarga Masyumi, yang punya sejarah keras bertolak
belakang secara politik dengan PKI, Buwono memilih jalan untuk membunuh.
“Ini soal pilihan, hidup atau mati, membunuh atau dibunuh,” katanya.
Ketika dipilih menjadi anggota
tim untuk memburu dan menyergap Aidit, Buwono merasakan sebagai kehormatan.
Sebagai militer di bagian intelijen, Buwono menggambarkan, pada 1 Oktober
1965, Aidit lari dari Jakarta terbang ke Yogyakarta, lalu melanjutkan
perjalanan darat ke Solo. Kota ini merupakan salah satu basis kuat pendukung
PKI.
Pergerakan Aidit dalam pelarian
di Solo, kata dia, terpantau oleh TNI AD. Ruang gerak Aidit yang semula lebar
dan leluasa di Solo, kemudian terus dipersempit melalui sejumlah operasi dan
pengepungan pagar betis tentara. Setelah tentara memastikan Aidit masuk
ke rumah simpatisan PKI di Solo, pasukan segera menjepit posisi Aidit. Buwono
menyatakan, ia adalah satu dari setidaknya tiga orang yang ditugasi untuk masuk
ke rumah persembunyian Aidit. “Saya bersama tiga orang kawan saya, sama-sama
dari RPKAD,” kata Buwono.
Ia menceritakan, malam itu semua kolong dan
almari rumah itu sudah diperiksa, tapi Aidit tak ditemukan. Tapi, Buwono
melihat ada yang aneh, satu lemari dipasang dengan posisi agak miring mepet
dengan kamar. Di balik lemari itulah, kata Buwono, Aidit bersembunyi dengan
cara mengangkat kakinya, bertumpu pada bagian belakang lemari. Sedangkan
tubuhnya bertumpu pada dinding rumah yang terbuat dari kayu. “Dugaan saya
benar, Aidit ada di belakang lemari itu,” kata Buwono.
Sebuah majalah terbitan
7 Oktober 2007 menuliskan kisah yang mirip dengan pengakuan Buwono. Demi menyergap
Aidit, Soeharto memerintahkan Yasir Hadibroto, komandan Brigade IV Infanteri.
Yasir pun memboyong pasukannya ke Solo. Di sana dia bertemu Sri Harto, orang
kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di salah satu rumah tahanan. Orang
itu dia lepaskan. Hanya dalam beberapa hari Sri Harto melapor: Aidit berada di Kleco
dan akan segera pindah ke sebuah rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun
Balapan, pada 22 November 1965.
Rencana pun disusun. Dan benar, sekitar
pukul sebelas siang, Aidit muncul di rumah itu, menumpang vespa Sri Harto.
Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brigif IV
menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir mengawasinya dari jauh.
Prayitno sendiri yang menemukannya. ”Mau apa kamu?” Aidit membentak anak buah
Yasir itu saat keluar dari lemari. Prayitno keder pada mulanya, tapi segera
menguasai keadaan. Setengah membujuk dia membawa Aidit ke markas mereka di Loji
Gandrung. Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit.
Sang Ketua membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya, antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S. Sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar dokumen itu. Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya harus bagaimana. Aidit berkali-kali minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. ”Jika diserahkan kepada Bung Karno,pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain,” kata Yasir seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Sang Ketua membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya, antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S. Sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar dokumen itu. Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya harus bagaimana. Aidit berkali-kali minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. ”Jika diserahkan kepada Bung Karno,pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain,” kata Yasir seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Akhirnya, pada pagi buta 23 November 1965 keesokan harinya,
Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju ke arah Barat. Mereka menggunakan
tiga jip. Aidit yang diborgol berada di jip terakhir bersama Yasir. Saat terang iring-iringan itu tiba di Boyolali. Tanpa sepengetahuan dua jip pertama,
Yasir membelok masuk ke Markas Batalyon 444. Tekadnya bulat. ”Ada sumur?”
tanyanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon.
Trisno menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.Ke sana
Yasir membawa tahanannya. Di tepi sumur, dia mempersilakan Aidit mengucapkan
pesan terakhir, tapi Aidit malah berapi-api pidato. Ini membuat Yasir dan anak
buah marah. Maka: dor! Dengan dada berlubang tubuh gempal Menteri Koordinasi
sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur. Buwono menggambarkan,
pagi itu, Aidit yang sudah tewas menjadi tumpahan amarah banyak tentara dengan
cara memberondongkan isi bedilnya ke jazad Aidit. “Teman-teman cerita, mereka
hari itu ‘pesta pora’ menyambut kematian Aidit,” kata Buwono.
G30S PKI
0 komentar:
Posting Komentar